Selasa, 11 September 2012

Dia

Aku seringkali memerhatikan senyummu dari kejauhan. Berkali-kali tersenyum dan tertawa kecil saat bayangmu berputar-putar di otakku. Menyakitkan memang jika tahu kamu tak pernah ada di dekapku, tapi bukankah cinta juga butuh rasa sakit? Rasa sakit yang kunikmati setiap goresan lukanya… karena mencintaimu.
Aku memang pengecut, tak berani mengucap cinta dan mengamit rindu di depanmu. Tapi… ada beberapa sisi gelapku yang tak kauketahui, aku selalu mendoakanmu, merapal namamu dalam  percakapan panjangku dengan Tuhan. Memang, cinta itu terasa seperti siksa, ketika pengungkapan tertahan pada bibir kelu, ketika tatapanku hanya bisa menjagamu dari kejauhan. Di atas semua siksa itu, aku tetap mencintaimu.
Ketika tatapan kita saling bertemu, seperti ada listrik yang menjalar di tubuhku, lalu jutaan kupu-kupu menari riang di perutku. Entah harus disebut apa, yang jelas saat-saat bola matamu menyentuh bening mataku, aku seperti lupa bernafas, seakan-akan ginjal berpindah ke usus dua belas jari. Aku seperti patung yang tak berpembuluh darah. Mungkin… perasaan aneh ini tak juga kamu rasakan, karena sosokmu selalu saja begitu, menganggapku teman biasamu. Atau mungkin saja, kamu lupa namaku, kamu tak ingat setiap abjad dalam nama lengkapku. Aku memang bukan siapa-siapa di matamu.
Tak dapat dipungkiri memang, pemendaman yang menyakitkan selalu butuh pengungkapan, dan rasa yang disembunyikan harus menemukan kejelasan. Aku memutar otak, berpikir lebih keras dari biasanya. Lalu… kutatap lagi dirimu di sudut itu, beberapa meter dariku. Ada tangan nakal yang seakan-akan menarik hatiku, menggelitik rasaku, untuk setidaknya mengucap sepatah dua patah kata. Tak peduli harus terlihat bodoh ataupun tolol di matamu. Aku hanya ingin kamu memerhatikanku, walaupun hanya sedikit, walaupun hanya sedetik!
Kamu bukan malaikat dengan sayap indah, atau iblis menyebalkan dengan tanduk di kepala. Ini bukan soal keindahan fisik atau seberapa tebal dompetmu, ini tentang perasaan absurd yang bahkan tak kusadari. Ini tentang perasaan aneh yang merasuki tidur malamku dan bangun pagiku, selalu saja wajahmu tergambar jelas saat itu. Aku terhipnotis. Dan kamulah sebab dari rasa mabuk yang memiringkan langkahku, juga menganggu kinerja otakku.
Cukup! Aku sekarat! Aku harus menyapamu lebih dulu! Aku harus mendengar suara lembutmu mengalun. Ah… logika tak boleh ikut dalam permainan rumit bernama cinta. Tapi, lagi-lagi bibirku kelu! Lagi-lagi tentang rasa malu!
Lalu.
Aku mundur.
Selangkah.
Dua langkah.
Lalu kembali memerhatikanmu lagi.
Diam-diam.
Seperti biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar