“Cinta memang butuh perjumpaan, bukan paksaan”
Aku tertegun membaca tulisannya, aku bahkan bisa meringis malu hingga tertawa lugu. Semua karena tulisannya, dia benar-benar memaksa otakku untuk terus bertanya dan mencari jawabnya. Dia
membuat bagian kosong dalam hatiku menjadi terisi oleh semua daya tarik
dan cara pikirnya. Ini memang gila atau bisa disebut juga abnormal.
Bagaimana mungkin seseorang bisa jatuh cinta hanya karena tulisan?
Ketika deret huruf dan angka menjadi sebab tak logis dari jatuh cinta. Cinta memang bisa tercipta dalam berbagai keadaan, bahkan dalam keadaan tak normal sekalipun.
Terlewat
sudah 2 bulan sejak kali pertama aku memperhatikan tulisannya. Aku
semakin jatuh cinta dengan pola pikirnya, aku semakin tak berdaya dengan
narasi-narasi luar biasa yang dihasilkan otaknya. Otakku mulai tak mau
mengikuti perintah tuannya, ya dia berpersepsi sendiri, akhir-akhir ini
dia sering membuat bayangan seorang pria yang wajahnya samar-samar,
mungkinkah seseorang yang saya cintai hanya karena tulisan itu adalah
seorang pria? Sementara hatiku mulai sok tahu dengan ideologi yang dia
reka-reka sendiri. Memang sulit untuk menyeimbangkan hati dan logika ketika cinta mulai tercipta.
Aku mulai brutal karena
dipermainkan oleh otakku sendiri, aku harus menemui penulis itu! Aku
harus mengetahui wujud nyata seseorang yang telah membuatku jatuh cinta!
Aku mulai sibuk dengan hal-hal absurd yang bahkan tak kuketahui sebab
mengapa aku harus melakukannya. Sampai pada suatu saat dimana aku memberanikan diri untuk mengirim pesan, menjadi sebagian kecil dari banyak orang yang mungkin seirng mengirim pesan untuknya.
“Hey.” Satu kata yang kukirim padanya, tanpa rencana, penuh tanda tanya.
“Ya?” Dia menjawabnya dengan
cepat dan singkat, aksi reaksi yang memukau. Satu kata yang mampu
membuat jantungku berdetak lebih cepat.
“Punya e-mail enggak, Mas,
Mbak?” Tanyaku lagi, dengan senyum yang melengkung sempurna dibibirku,
aku masih tak percaya akan hal itu.
“Punya, ******************@*****.com” Jawabnya singkat, sesingkat pertemuan kita di dunia maya kala itu.
Aku masih tak percaya dengan yang terjadi. Penulis yang mampu membuatku melamun sepanjang waktu membalas pesan singkatku. Tulisan
memang mampu membuat seseorang jatuh cinta secara tiba-tiba, sedangkan
dunia maya mampu mengagetkan seseorang secara tiba-tiba. Hanya dengan
kata “hey” itu, semua berubah jadi begitu indah, semua mengalir dengan
begitu lumrah.
***
“Aku suka tulisanmu.” Sapaku singkat, lewat e-mail. Sapa tak tersentuh dan menjaring maya.
“Iya ya? Wah terimakasih ya.
Saya juga suka tulisanmu yang bercerita tentang dunia maya itu.”
Jawabnya lugu, aku terbelalak, jantungku semakin cepat berdetak. Dia tak
pernah tahu bahwa ceritaku selalu terinspirasi dari sosoknya yang maya
dan tak tersentuh.
“Kamu serius? Pujian singkatmu benar-benar meruntuhkanku.” Balasku sejujur-jujurnya. Saat aku membaca pesan singkatnya, aku tersenyum malu-malu, tapi jauh di jarak yang tak kuketahui, apakah dia juga begitu?
“Iya, aku serius. Ah, kamu
berlebihan.” Sekali lagi dia membalas e-mailku. Panggilan “saya” dan
“anda” berubah menjadi “aku” dan “kamu”. Benar-benar absurd dan tak
terencana, apakah ini cinta?
“Hahaha. Jadi, kamu pria? Tinggal di Jakarta?”
“Ya, Jakarta! Kota yang tak pernah tidur, 11 12 denganku yang jarang tidur! Dan, kamu wanita? Jakarta?”
“Aku wanita dan menetap di
Jakarta. Jadi, ada yang bisa dihubungi selain e-mail? Aksi reaksi dan
balasannya lebih cepat.” Pancingan terselubung yang kulontarkan pada
sosoknya yang maya itu.
“Phone number? Minta nomor
handphone saja berbelit-belit, lucu sekali ya kamu. 081*********”
Jawabnya singkat, nafasku tercekat. Sialan! Pria ini membuat otakku
semakin sibuk memikirkannya!
Tak disangka percakapan kecil melalui e-mail itu tercipta dengan begitu lugu dan penuh ketidaksengajaan.Mahluk tak bernafas bernama handphone benar-benar mendekatkan kami yang dulu penuh dengan jarak.
***
Dua minggu ini aku masih saja sering meringis sendirian saat membaca pesan singkatnya.
Candanya, cara dia berbicara, dan cara dia mengutarakan pendapatnya.
Seringkali percakapan kecil yang tercipta membuatku percaya bahwa dia
benar-benar ada dan mungkin merasakan perasaan yang sama denganku.
Dia mampu membuatku percaya pada apa yang sebenarnya tak kulihat. Dia tunjukkan banyak hal yang dulu tak pernah kupercayai, salah satunya cinta. Dia
perlihatkan kekuatan itu tanpa sengaja kepadaku. Dia buatku jatuh tapi
kemudian dia genggan tanganku erat-erat, untuk meyakinkan bahwa aku tak
jatuh cinta sendirian.
“Sudah makan?” Sapaku sederhana, mengirim pesan singkat untuknya.
“Belum. Ada apa? Kamu sudah makan?” Jawabnya dengan cepat, dari jawabannya yang singkat, aku tahu bahwa dia sedang sibuk.
“Aku sudah, nanti kalau sudah selesai kerjaannya
segera makan ya. Jangan telat makan!” Perintahku padanya. Mungkin kala
itu dia sedang membaca ribuan tulisan sambil memasang wajah kantuk di
depan laptopnya.
“Iya, nanti malam aku ingin bicara sesuatu.
Sediakan waktumu!” ucapnya melalui pesan singkat. Aku tersentak,
sepertinya ada hal penting yang ingin dia biacarakan.
***
“Jadi, ada yang ingin kaubicarakan?” Aku mengawali percakapan yang diselimuti rasa lelah setelah aku dan dia bekerja seharian.
“Ya, kaubutuh perjumpaan nyata?” dia bertanya dengan suara lelahnya.
“Aku? Kita!”
“Ya, kita butuh perjumpaan nyata!”
“Mengapa?”
“Karena tak selamanya kau akan hidup dalam dunia maya.” Jelasnya santai.
“Setiap perasaan memang butuh perjumpaan.” Ucapku mantap.
“Perjumpaan nyata!” Sambungnya tanpa ragu.
“Dimana?”
***
Hujan kala itu benar-benar memancing emosiku untuk
meledak-ledak, tapi kubiarkan emosi itu luruh bersama derasnya
bulir-butir hujan yang menyentuh atap Stasiun Kereta Api Pondok Cina.
Entah mengapa stasiun ini selalu terlihat sepi. Ah, sudah pukul 17.00,
hujan masih saja mengguyur malu-malu, rintik-rintiknya seperti meledek,
jatuh pelan-pelan tanpa merasa bersalah. Sedangkan jam janjian telah
lewat 30 menit, kereta juga taj kunjung tiba. Aku kelimpungan. Aku
kebingungan.
“Kamu dimana?” pesan singkat yang ke-10 dengan
pertanyaan yang sama. Dari siapa? Dari dia, sang penulis yang kucintai
karena tulisannya!
“Stasiun Pondok Cina, aku terjebak hujan.”
“Pantas lama, yasudah tidak usah, aku ada meeting
mendadak.” Sekejap saja hatiku langsung ngilu. Semudah dan secepat
itukah? Mengapa dia tak mau menunggu?
Rasanya aku ingin membuat hujan baru di pelupuk
mataku. Aku sangat ingin menangis kala itu. Aku mengumpat hujan,
mengumpat senja yang tetap saja menangis. Senja masih saja senang digoda
hujan. Aku semakin kebingungan.
Dinginnya hujan masihs aja menusuk tulang, hatiku
mengerang. Diam-diam aku menangis sendirian, saat aku sedang sibuk
mengucek-ngucek mataku agar tak terlihat sembab, aku merasa ada tangan
lembut yang menarik tanganku. Lalu, aku menatap heran pada seseorang
yang ada di sampingku, dengan tatapan heran layaknya menodong dia dengan
pertanyaan “Siapa kamu?”
“Aku yang dua minggu terakhir ini selalu kauingatkan agar tidak telat makan.” Sambil tersenyum, pria itu menatapku.
Kuperhatikan matanya yang redup, kantung matanya
yang hitam, pipinya yang tius, dan bibirnya yang tipis. Aku ikut
melengkungkan senyum. Wajahnya terantuk diujung kantuk, tubuhnya basah
oleh hujan senja. Kala itu, dia begitu memesona
Tidak ada komentar:
Posting Komentar