Selasa, 23 Oktober 2012

Saya Mengasihanimu

Tidak semua hal berhak diurusi, ada yang memang merupakan bagian yang harus di "konsumsi" dan bagian yang harus diabaikan. Namun, orang-orang kurang kerjaan selalu mecari celah untuk membuktinya dirinya hidup dan ada. Dengan cara yang salah dan bodoh, mereka selalu mengutamakan cara yang mereka anggap benar untuk mengurusi hidup orang lain. Sungguh lucu, orang-orang seperti ini mencari perhatian dengan cara yang salah. Mencibir, menganggap dirinya Tuhan, lalu membenarkan semua tindakannya. Padahal, setiap orang punya kehidupan masing-masing, yang pasti akan merasa terganggu jika seseorang yang lain memaksa masuk ke dalam urusannya.
Memang, macam-macam tipe manusia di muka bumi ini. Banyak yang berganti-ganti topeng, bermulut besar, dan menganggap dirinya benar. Oh, seberapa nabikah kamu? Tuhankah kamu? Tuhan dan nabi saja perlakuannya tak separah kamu. Orang seperti ini selalu mengundang tawa, untuk apa ya dia sibuk mengurusi hidup orang lain? Karena dia kurang perhatian? Kasihan. Kurang kasih sayang? Kasihan. Mencari perhatian dengan cara yang salah? Sungguh kasihan.
Ditambah lagi, orang yang selalu merasa dirinya benar, menghakimi segala perbuatan orang lain yang dianggapnya salah. Kauletakkan di mana cerminmu kali ini? Kaupecahkan? Atau bahkan cermin muak melihat wajahmu yang berganti-ganti rupa? Saya mengasihani kamu, sungguh saya mengasihani kamu. Dengan segala perlakuan bodohmu, dengan perkataan sok tahumu, dengan tindakanmu yang seperti anak kecil; sungguh hidupmu membuat saya iba. Saya mengasihani kamu.
Uh, tapi, saya ragu, mungkinkah kamu orang yang baik? Habis, kamu selalu membawa nama Tuhan ketika ingin membela dirimu. Kauselalu bawa nama Tuhan untuk memposisikan dirimu seakan-akan benar. Kauubah cerita dengan versimu sendiri. Kauposisikan dirimu sebagai korban. Sudahlah, kauini lucu sekali, langka sekali manusia sepertimu. Mengapa kaumerasa memiliki Tuhan hanya ketika kamu ingin menyindir hidup orang lain? Sudahkan rupa dan wajah Tuhan tercermin dalam perilakumu?
Aku tahu, kauobsesif kompulsif. Menyukai dengan cara berlebihan. Iya, hidupmu penuh drama, berlebihan. Seperti sikapmu. Seperti perkataanmu. Seperti tindakanmu.
Aku juga berlebihan. Mengasihanimu dengan sangat berlebihan.
Aku ingin terus memahamimu sampai kamu tak pantas lagi untuk di kasihani 

Perbedaan dan Air Mata


Matanya mengawasi saya sejak tadi, sejak saya mengetik dan menyeruput kopi. Dia terus bercerita, minta didengarkan, melihat sikap saya yang terus mengutak-atik laptop, Diana jadi kesal sendiri. Upss, saya mulai berani sebutkan namanya. Atas izin Diana, saya boleh menulis namanya. Wanita ini memang selalu diluar dugaan saya.  Wanita ini, dengan kerlingan matanya yang tajam sudah menyoroti saya. Dia juga tertawa terbahak-bahak ketika kisahnya tentang #CintaTapiBeda dilihat oleh puluhan ribu pasang mata. Aneh, mengapa dia begitu senang ketika kisah nyatanya saya tulis di blog pribadi saya? Saya kira dia akan marah, malu, kemudian membenci saya karena saya menulis posting-an blog berdasarkan kisah nyatanya.

Diana malah berterimakasih dengan mata berbinar, melihat komentar di bawah tulisan tersebut. Ia terharu karena kisahnya menginspirasi banyak orang agar menghargai dan menghormati perbedaan. Karena di luar sana, kadang kita tak tahu; bahwa perbedaan mampu menyakitkan bagi seseorang. Begitu juga bagi Diana, begitu juga bagi kekasihnya, Cahyo.

Mereka, seperti yang saya tuliskan kemarin, adalah pasangan beda agama. Diana, teman saya, seorang Khatolik sejati. Cahyo, kekasihnya, seorang Muslim. Berbeda dan berbenturan. Tapi, apakah karena perbedaan mereka dilarang jatuh cinta? Iya. Pasti. Tentu saja. Juga oleh kedua orangtua mereka.

Norma dan pandangan masyarakat tak mau tahu apa itu cinta, perasaan, juga pertemuan yang terjadi atas izin Tuhan. Diana dan Cahyo tak pernah bersungut-sungut pada Tuhan agar mereka dipertemukan lalu jatuh cinta. Tapi, mereka benar-benar bertemu, merasa nyaman, dan akhirnya bisa mendefinisikan arti cinta yang sesungguhnya; walaupun segalanya jadi tak mudah. Jujur, kisah mereka adalah kisah yang indah, bukan kisah-kisah manja, murahan, dan cinta-cintaan yang buang-buang waktu. Betapa indahnya pertemuan antara manusia dengan manusia, tanpa memikirkan segala atribut sosial yang mengekang kemanusiannya; agama.

Dalam kebahagiaan, kadang terselip tangisan. Dalam doa panjang untuk Tuhan, kadang terselip permintaan yang mungkin saja enggan Tuhan dengarkan. Tuhan yang mana yang sedang mendengarkan doamu? Tuhan yang menciptakan hujan? Tuhan yang menciptakan tulang rusuk untuk seorang pria? Tuhan yang menciptakan agama? Tuhan mencipta agama? Lucu.

Agama. Agama. Agama. Cinta. Cinta. Cinta. Tuhan. Hantu. Tuhan. Saya sedang sedikit emosional dan terbawa oleh ceritanya. Ketika semua orang, yang tahu kisah Diana dan Cahyo menganggap mereka pasangan “kutukan”. Begini, mereka hanya jatuh cinta, dan memperjuangkan yang bagi mereka harus diperjuangkan; apa salah mereka hingga banyak orang menilai mereka seperti sampah?

Apalagi, kedua orangtua. Memang, orangtua selalu inginkan yang terbaik bagi anaknya, bagi keturunannya, tapi terlalu menyakitkan bagi Diana dan Cahyo jika mereka harus berpisah hanya karena berbeda. Apakah tak ada jalan lain untuk menyatukan? Apakah orang-orang sekitar tak lagi peduli dengan perasaan dan perbedaan?

Memang, Diana dan Cahyo berbeda, tapi... APA SALAHNYA? Tidak dapat dipungkiri memang, orangtua juga ingin memiliki keluarga baru yang memiliki kesamaan dengan beliau-beliau. Manusia selalu takut dengan perbedaan, mereka selalu nyaman dengan hal yang terlihat sama di mata mereka. Padahal, berbeda belum tentu salah, dan punya kesamaan belum tentu benar. Seharusnya perbedaan ada bukan untuk disalahkan, dihakimi, lalu dianggap seakan-akan ada. Bukankah perbedaan harusnya jadi “sarana” untuk mengenal dan saling melengkapi?

Cinta milik Diana dan Cahyo memang terjadi begitu saja, tanpa sutradara, karena bukan drama. Diana mencintai Tuhan, begitu juga dengan Cahyo; walaupun mereka beribadah di tempat yang berbeda. Salahkah mereka?

Apakah perbedaan yang Tuhan ciptakan hanya akan jadi penghalang?

Dalam dingin yang menusuk-nusuk tulang
Saya tak lagi paham
Apakah cinta dan agama tak layak disatukan?

Salahkah jika Melipat Tangan dan Menengadahkan Tangan Bersatu?


Reaksi: 

Setiap bertemu dengan saya, dia banyak diam. Dia hanya bercerita tentang karier menarinya yang cukup mengagumkan. Hal yang selama ini ia perjuangkan terlihat mulai membuahkan hasil. Kelurga, waktu, usaha, dan tenaga telah ia korbankan untuk mimpinya; menari di atas panggung.

Ini pertemuan saya yang terjadi secara kebetulan, kami bertemu di Margocity, Depok, Jawa Barat. Dia tidak bersama kekasihnya, saya bertanya-tanya. Adakah sesuatu yang salah? Melihat kejanggalan tersebut, saya banyak diam. Namun, ia mengajak saya sekadar ngopi dan ngobrol, saya tak mampu menolak, kami sudah tidak saling bertukar kabar beberapa minggu ini.

Topik utama masih tentang kuliah saya sebagai mahasiswa baru dan ia bercerita tentang kariernya yang mulai bersinar. Saya ikut bangga punya teman yang memperjuangkan mimpinya dengan sangat berani dan nekat. Namun, air wajahnya berubah ketika ia bercerita tentang kekasihnya, yang memanggil nama Tuhan dengan sebutan berbeda. 

Mungkin, inilah definisi menyakitkan yang sesungguhnya. Saya sendiri tak mampu mendeskripsikan rasa sakit dalam rangkaian kata, karena perasaan itu benar-benar dirasakan oleh hati, sedangkan apa yang dirasakan hati begitu sulit disentuh oleh logika kata dan kalimat. Dan, kata menyakitkan itu berasal dari kesulitan untuk menyatukan dua orang yang beribadah di tempat yang berbeda. Menangkap maksud saya? Absurd, abnormal, sulit dipecahkan, inilah yang muncul dalam benak saya ketika ia kembali bercerita tentang hubungannya yang berbeda, yang penuh perjuangan dan peluh.

Saya paham, ketika dia harus berkali-kali menghela napas ketika bercerita tentang beban yang memberatkan langkahnya selama ini. Saya juga mengerti ketika matanya mulai berkaca-kaca setiap kali nama pria itu disebutkan olehnya. Saya juga memaklumi jika ia harus mengangkat wajahnya berkali-kali, menahan matanya yang berair agar tetap terlihat kuat dan tegar. Kedewasaannya sungguh diuji, ia berusaha terlihat sangat tegar dan sangat kuat di hadapan saya. Mungkin, dia sangat memercayai saya, karena saya pernah mengalami hal serupa, walaupun pada akhirnya saya juga terluka.

Dia terus bercerita, semakin banyak ia bercerita semakin saya memahami isi hatinya. Ada sesuatu yang ia perjuangkan di sini, agak ironis dan klise jika saya katakan, dan sangat munafik jika saya menyembunyikan apa yang saya tangkap. Iya, dia memperjuangkan; cinta.

Kamu tertawa, jelas. Cinta, di mata beberapa orang hanyalah omong kosong yang jauh dari kata nyata. Beberapa orang beranggapan bahwa cinta bukanlah hal yang harus benar-benar diperjuangkan. Makanya, cinta bisa terpisah karena perbedaan. Suku, ras, status sosial, dan lebih menyakitkan lagi jika berpisah karena agama. Hanya karena teman saya melipat tangan dan kekasihnya menengadahkan tangan, berarti mereka dilarang untuk saling jatuh cinta?

Hal ini sungguh menganggu pikiran saya. Mungkin, saya terlalu perasa, hingga saya tak pernah tahan melihat seseorang terluka bukan karena sakit yang ia buat sendiri. Iya, saya begitu yakin, sakit dan air mata yang ia rasakan bukanlah sakit yang ia buat sendiri. Saya percaya dia dan kekasihnya saling jatuh cinta, mereka saling menjaga dan tidak mungkin saling menyakiti. Tapi, keadaan, orang-orang sekitar, juga orang lain yang bahkan tak terlalu mengenal mereka telah menciptakan pandangan yang salah. Pandangan yang memojokan teman saya dan kekasihnya. Mereka memang berbeda, salib dan tasbih, tapi bisakah dunia berhenti menyakiti mereka? 

Ketika pembicaraan berakhir, saya tidak memberi solusi apa-apa. Apa yang bisa saya berikan? Saya hanya mampu menyediakan telinga, juga hanya mampu menepuk pundaknya berkali-kali, berkata "sabar" tanpa henti. Saya sendiri benci dengan tindakan saya selama ini, saya banyak diam dan membiarkan teman saya dalam kesedihannya sendiri. 

Tuhan, agama, dan norma, begitu klise dalam kacamata saya. Segalanya begitu kompleks, sampai-sampai saya tak paham lagi, apakah Tuhan yang begitu suci dan agung pantas diterka-terka isi hatiNya oleh manusia?

Senin, 15 Oktober 2012

Dalam Jarak sejauh ini

Apa yang menyenangkan dalam jarak sejauh ini? Aku tak bisa menatapmu dan jemariku tak bisa menyentuh lekukan wajahmu. Apa yang bisa kita harapkan dari jarak ratusan kilometer yang memisahkan kita? Ketika rasa rindu menggebu, dan kutahu kautak ada di sisiku. Sejauh ini kita masih bertahan, entah mempertahankan apa. Karena yang kurasa sekarang, cintamu tak lagi nyata; selebihnya bayang-bayang. 

Dalam jarak sejauh ini, mungkinkah kita masih saling mendoakan? Seperti saat kita dulu masih berdekatan. Aku tak lagi paham saat-saat dingin mencekam, kamu tak duduk di sampingku, juga tak mendekapmu dengan hangat, aku tak lagi mengerti saat airmataku terjatuh, hanya ada tangaku (bukan tangamu) yang menghapus basah di pipiku. jelaskan padaku, apa yang selama ini membuatku tetap bertahan ?


aku hanya bisa melihat photomu, diam--diam merapal namamu dalam doaku, mendengar suaramu dari ujung telepon. kulakukan semua seakan-akan baik-baik saja, seakan aku tak terluka, seakan tak ada airmata, aku begitu meyakinkanmu bahwa tak ada yang salah diantara kita dan apakah disana kau memang baik-baik saja ? apakah rindu yang kita simpan dalam-dalam akan menemukan titik temu ? 


aku lelah, pulanglah !!