Rabu, 02 September 2015

Terlalu Cepat


Sehabis hujan sore ini, aku kembali membaca ulang percakapan kita, saat aku dan kamu masih menjadi dua manusia yang bisa dibilang punya kecocokan juga kesamaan. Aku tertawa walaupun diam-diam hatiku teriris mengingat bahwa hal-hal manis ini tak mungkin terjadi lagi. Tak mungkin lagi aku berharap bahwa kamu akan berubah jadi pria yang dulu begitu kukenal, yang kehadiran selalu sulit kuduga, dan yang diam-diam membuatkanku puisi cinta; puisi yang kubaca dengan wajah tersipu. Kenyataan yang harus kuterima, kamu bukan lagi pria yang dulu sangat kucinta, kamu berubah jadi orang asing bermata sipit, dan berhidung panjang yang mungkin tak mau tahu lagi dan sudah melupakan kenangan-kenangan kita dulu.

Rasanya aku masih mengingat kepulan asap rokokmu ketika pertama kali kita berjumpa. Aku masih mengingat wajah lonjongmu, mata sipitmu yang indah, hidung yang cukup mancung, bibir tipis melengkung sempurna yang aku biarkan terus berkata meskipun kadang aku tak memahami pikiranmu yang terlalu bebas. Aku masih ingat betapa suara beratmu merasuk masuk ke telingaku, membisikan melodi cinta yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku masih menyimpan memori ketika kamu memakai kemeja biru, kulit putihmu yang berubah kemerahan ketika terkena sinaran matahari, dan banyak hal lain yang jika semakin kuingat, semakin membuat dadaku sakit. Aku tak sadar mengapa perkenalan yang tidak sengaja ini sukses membuatku berharap terlalu jauh pada sosok terlalu sempurna sepertimu.

Bagiku kesempurnaanmu adalah beban sangat berat untuk gadis seusiaku. Aku hanya perempuan biasa, kuliah di jurusan yang sangat sederhana, prestasiku tak seberapa, hobiku hanya menulis, bernyanyi dan bermimpi, hanya itu yang bisa aku lakukan. Kamu? Dan, kamu? Kamu adalah pria luar biasa, yang diceritakan begitu sempurna dalam film dan rangkaian peristiwa drama, kamu menari, bergerak, berjalan dengan anggun; sementara aku hanya gadis lugu yang hanya berani menatapmu dari jauh dan berharap bahwa pertemuan pertama kita adalah mimpi yang akan terus berlanjut. Aku berharap tidak pernah bangun, berharap tak ada orang yang menyadarkanku bahwa mendekatimu adalah sebuah khayalan yang terlalu tinggi.

Dan, ternyata kamu memang tak sejauh matahari, kamu bukanlah sebuah ilusi. Aku semakin jatuh cinta padamu, pada suatu malam di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya kala itu. Itu adalah pertemuan terakhir kita, namun kamu menghadirkan kenangan yang tak akan pernah bisa kulupakan hanya dalam waktu singkat. Aku tak pernah paham apa yang membuatmu kini menjauh, aku tak tahu mengapa kau lebih percaya cerita mereka daripada pengakuanku. Aku tak tahu mengapa hubungan yang awalnya kukira hanya main-main ini ternyata menimbulkan luka yang luar biasa dalam bagiku.

Terlalu cepat jika semua harus berakhir. Terlalu cepat jika aku harus kembali bersedih karena kehilangan kamu. Aku sedang di puncak sayang-sayangnya sama kamu, sementara kamu mendorongku dari atas sana, membiarkanku terjerambab,. terjatuh sendirian, dan kamu tertawa seakan tidak melakukan kesalahan. Ini terlalu cepat, Batu Karangku Perempuan yang selalu kamu sebut dengan Laut ini masih ingin memperjuangkan dan mengusahakanmu, tapi mengapa semalam kaubilang kamu telah bersama yang lain? Mungkin, ini tidak akan pernah adil untukku, namun apa yang bisa aku tuntut? Kita tak punya status apapun, menangispun rasanya tak akan membuat kita kembali seperti dulu.

Aku tidak membencimu. Aku cuma benci hari-hari tanpamu. Aku tidak akan pernah menyesal pernah mengenalmu. Aku hanya menyesal mengapa dulu saat kau tawarkan perkenalan, aku terlalu cepat untuk mengulurkan tangan?



w/ love kartika krystal
@chachartika95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar