Reaksi:
|
Setiap
bertemu dengan saya, dia banyak diam. Dia hanya bercerita tentang karier
menarinya yang cukup mengagumkan. Hal yang selama ini ia perjuangkan terlihat
mulai membuahkan hasil. Kelurga, waktu, usaha, dan tenaga telah ia korbankan
untuk mimpinya; menari di atas panggung.
Ini
pertemuan saya yang terjadi secara kebetulan, kami bertemu di Margocity, Depok,
Jawa Barat. Dia tidak bersama kekasihnya, saya bertanya-tanya. Adakah sesuatu
yang salah? Melihat kejanggalan tersebut, saya banyak diam. Namun, ia mengajak
saya sekadar ngopi dan ngobrol, saya tak mampu menolak, kami sudah tidak saling
bertukar kabar beberapa minggu ini.
Topik utama
masih tentang kuliah saya sebagai mahasiswa baru dan ia bercerita tentang
kariernya yang mulai bersinar. Saya ikut bangga punya teman yang memperjuangkan
mimpinya dengan sangat berani dan nekat. Namun, air wajahnya berubah ketika ia
bercerita tentang kekasihnya, yang memanggil nama Tuhan dengan sebutan
berbeda.
Mungkin,
inilah definisi menyakitkan yang sesungguhnya. Saya sendiri tak mampu
mendeskripsikan rasa sakit dalam rangkaian kata, karena perasaan itu
benar-benar dirasakan oleh hati, sedangkan apa yang dirasakan hati begitu sulit
disentuh oleh logika kata dan kalimat. Dan, kata menyakitkan itu berasal dari
kesulitan untuk menyatukan dua orang yang beribadah di tempat yang berbeda.
Menangkap maksud saya? Absurd, abnormal, sulit dipecahkan, inilah yang muncul
dalam benak saya ketika ia kembali bercerita tentang hubungannya yang berbeda,
yang penuh perjuangan dan peluh.
Saya paham,
ketika dia harus berkali-kali menghela napas ketika bercerita tentang beban
yang memberatkan langkahnya selama ini. Saya juga mengerti ketika matanya mulai
berkaca-kaca setiap kali nama pria itu disebutkan olehnya. Saya juga memaklumi
jika ia harus mengangkat wajahnya berkali-kali, menahan matanya yang berair
agar tetap terlihat kuat dan tegar. Kedewasaannya sungguh diuji, ia berusaha
terlihat sangat tegar dan sangat kuat di hadapan saya. Mungkin, dia sangat
memercayai saya, karena saya pernah mengalami hal serupa, walaupun pada
akhirnya saya juga terluka.
Dia terus
bercerita, semakin banyak ia bercerita semakin saya memahami isi hatinya. Ada
sesuatu yang ia perjuangkan di sini, agak ironis dan klise jika saya katakan,
dan sangat munafik jika saya menyembunyikan apa yang saya tangkap. Iya, dia
memperjuangkan; cinta.
Kamu
tertawa, jelas. Cinta, di mata beberapa orang hanyalah omong kosong yang jauh
dari kata nyata. Beberapa orang beranggapan bahwa cinta bukanlah hal yang harus
benar-benar diperjuangkan. Makanya, cinta bisa terpisah karena perbedaan. Suku,
ras, status sosial, dan lebih menyakitkan lagi jika berpisah karena agama.
Hanya karena teman saya melipat tangan dan kekasihnya menengadahkan tangan,
berarti mereka dilarang untuk saling jatuh cinta?
Hal ini
sungguh menganggu pikiran saya. Mungkin, saya terlalu perasa, hingga saya tak
pernah tahan melihat seseorang terluka bukan karena sakit yang ia buat sendiri.
Iya, saya begitu yakin, sakit dan air mata yang ia rasakan bukanlah sakit yang
ia buat sendiri. Saya percaya dia dan kekasihnya saling jatuh cinta, mereka
saling menjaga dan tidak mungkin saling menyakiti. Tapi, keadaan, orang-orang
sekitar, juga orang lain yang bahkan tak terlalu mengenal mereka telah
menciptakan pandangan yang salah. Pandangan yang memojokan teman saya dan
kekasihnya. Mereka memang berbeda, salib dan tasbih, tapi bisakah dunia
berhenti menyakiti mereka?
Ketika
pembicaraan berakhir, saya tidak memberi solusi apa-apa. Apa yang bisa saya
berikan? Saya hanya mampu menyediakan telinga, juga hanya mampu menepuk
pundaknya berkali-kali, berkata "sabar" tanpa henti. Saya sendiri
benci dengan tindakan saya selama ini, saya banyak diam dan membiarkan teman
saya dalam kesedihannya sendiri.
Tuhan,
agama, dan norma, begitu klise dalam kacamata saya. Segalanya begitu kompleks,
sampai-sampai saya tak paham lagi, apakah Tuhan yang begitu suci dan agung pantas
diterka-terka isi hatiNya oleh manusia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar